2.4 Komplikasi Impaksi
Gigi bungsu impaksi, dapat terjadi tanpa gejala atau
hanya menimbulkan rasa nyeri tumpul pada rahang, yang
menyebar sampai ke leher, telinga dan daerah temporal(migrain).
Hal itu terjadi akibat penekanan gigi pada nervus alveolaris inferior yang terletak didekatnya.Gigi
impaksi yang tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti karies dentis,
infeksi dan pembentukan kista atau tumor
(Rahayu, 2014).
1.
Karies
Dentis
Baik molar kedua (Gambar 4a), maupun molar ketiga
(Gambar 4b), rawan mengalami karies dentis karena pada daerah tersebut mudah
terjadi retensi sisa makanan dan sulit dibersihkan. Hal tersebut menyebabkan
dekalsifikasi enamel, dentin, dan kemudian menyebabkan kerusakan yang luas
sehingga menembus atap pulpa. Peradangan pulpa atau pulpitis dapat terjadi akut
dengan keluhan nyeri hebat berdenyut, namun dapat pula berlangsung kronis dan
keluhan nyeri hanya muncul bila terkena rangsang dingin atau saat kemasukan
makanan. Lambat laun, pulpa gigi menjadi non-vital yang disebut gangren pulpa
(Rahayu, 2014).
Gambar 4. Karies dentis pada molar ke-dua yang terjadi
karena desakan gigi bungsu yang impaksi (4a).Karies dentis pada gigi bungsu
(molar ke-tiga) yang impaksi sebagian, akibat terbentuknya celahyang terisi
sisa makanan dan sulit dibersihkan (4b) (Sumber: dimodifikasi dari AAOMS, Still
dan Stenhouse)
Sebagaimana
gigi gangren lainnya, gigi bungsu gangren dapat merupakan sumber infeksi yang kronis
danmenyebar secara hematogen ke organ tubuh lain yang
jauh letaknya. Kondisi tersebut akan berlangsung terus
menerus selama gigi gangren tidak ditangani dengan baik.
- Infeksi
Perikoronal
Pada keadaan normal,
operkulum yaitu mukosa gingiva yang meliputi benih gigi yang sedang dalam
proses erupsi, secara fisiologis akan membuka, lambat laun atrofi dan
menghilang, sehingga memungkinkan gigi untuk muncul di rongga mulut. Pada gigi
bungsu yang mengalami impaksi parsialis, operkulum menetap dan celah dibawah
operkulum menjadi tempat akumulasi debris yang menjadi media sempurna untuk
pertumbuhan kuman anaerob. Operkulum juga dapat mengalami trauma gigitan dari
molar ketiga rahang atas yang sudah erupsi sehingga terjadi ulkus. Ulkus dapat merupakan
pintu masuk kuman sehingga terjadi operkulitis yaitu infeksi operkulum seputar
korona gigi (Gambar 5a). Infeksi dapat meluas ke daerah perikoronal yaitu
seluruh mukosa sekitar korona gigi, atau disebut perikoronitis (Gambar 5b).
Gambar 5. Operkulitis.
Operkulum yang tidak mengalami atrofi sempurna mudah terinfeksi dan menjadi
operkulitis (5a). Gigitan oleh molar ke-tiga rahang atas memudahkan pembentukan
ulkus yang menjadi pintu masuk infeksi yang selanjutnya menjadi operkulitis.
Bila infeksi meluas ke daerah perikoronal akan terjadi perikoronitis (5b).
Operkulitis atau perikoronitis dapat berlanjut, menjadi abses perikoronal (5c
dan 5d). (Sumber: dimodifikasi dari AAOMS, Still dan Stenhouse)
Gejala khas abses
perikoronal berupa nyeri hebat dan trismus parsialis bahkan totalis yaitu
penderita tidak bisa membuka mulut sama sekali akibat spasme muskulus
pembuka/penutup mulut. Penderita sulit membersihkan gigi dan mulutnya, sehingga
timbul halitosis. Keadaan umum penderita diperburuk oleh kesulitan mengunyah
dan menelan. Sering tampak pembengkakan ringan sampai sedang pada pipi yang
berdekatan dengan gigi bungsu penyebab (Archer, 1974; Rahayu, 2014)
3.
Abses
Keadaan umum penderita yang menurun, dapat
menyebabkan abses perikoronal mudah menjalar ke daerah
peritonsilar/parafaringeal (Gambar 6a), menjadi abses peritonsilar atau abses
parafaringeal yang dapat menyumbat jalan nafas (Gambar 6b). Obstruksi total
dapat terjadi bila terjadi infeksi bilateral dan hal itu merupakan
kegawat-daruratan medik yang mengancam jiwa (Rahayu, 2014).
Infeksi juga dapat
menjalar menjadi abses fasialis dan abses submandibularis (Gambar 6e). Abses
perikoronal selanjutnya dapat meluas menjadi selulitis masif pada ruang
submandibular, submental, sublingual yang dapat terjadi bilateral sekaligus,
dan disebut disebut angina Ludwig (Gambar 6f). Keadaan itu sangat mengancam
jiwa karena dapat terjadi sepsis, jalan nafas tersumbat, trismus totalis, sulit
makan, sulit menelan, febris dan dehidrasi berat. Infeksi perikoronal dapat berlangsung
terus menerus, kronik tanpa gejala akut, tetapi menjadi fokus infeksi. Secara
hematogen, bakteri menyebar secara progresif mengikuti aliran darah menimbulkan
infeksi sistemik atau menginfeksi bagian tubuh lain seperti jantung
mengakibatkan endokarditis, ke ginjal menyebabkan nefritis, bahkan ke
intrakranial menjadi trombosis sinus kavernosus (Gambar 6d) yang dapat
menimbulkan kematian.
Gambar 6. Skema penjalaran infeksi dari daerah perikoronal
ke arah peritonsilar/parafaringeal, menyebabkan abses peritonsilar (6a) atau
abses parafaringeal (6b). Skema penjalaran infeksi menjadi abses fasialis dan
abses submandibularis (6c). Skema penjalaran infeksi dari gigi secara hematogen
ke intrakranial (6d). Pasien dengan infeksi yang meluas menjadi abses fasialis
dan abses submandibularis (6e) atau angina Ludwig (6f). (Sumber: Gambar 6a-6d
dimodifikasi dari Archer. Gambar 6e-6f: Rahayu – Departemen Ilmu Penyakit Gigi
dan Mulut FKUKI, 2014)
4.
Kista
atau tumor
Benih gigi yang tumbuh tak sempurna juga dapat
menjadi tumor. Secara fisiologis, setiap benih gigi diselubungi oleh kantung
yang akan menghilang apabila erupsi berlangsung normal. Pada gigi impaksi
totalis, kantung tersebut dapat mengalami degenerasi kistik, menjadi kantung
patologis berisi cairan, disebut kista dentigerous atau kista folikular (Gambar
7a). Pembesaran kista pada rahang mengakibatkan destruksi tulang. Kista juga
akan menghuni dan membuat rongga luas dalam tulang (Gambar 7b). Hal itu akan
menimbulkan asimetri wajah, dan dapat pula menyebabkan fraktur rahang
patologis. Kista dentigerous yang terbentuk oleh impaksi totalis gigi bungsu
atas, bahkan dapat dengan bebas mengisi sinus maksilaris, menembus dinding
lateral sinus sehingga menimbulkan benjolan pada pipi (Rahayu, 2014).
Gambar 7. Kista dentigerous
yang mengalami degenerasi kistik dari kantung benih gigi yang tidak menghilang
pada gigi impaksi totalis (7a, 7b). Kista radikular/periodontal yang terbentuk
di daerah akar gigi (7c). (Sumber: dimodifikasi dari AAOMS, Still dan Stenhouse)
Kista dentigerous
bahkan dapat berkembang menjadi tumor yaitu ameloblastoma (Gambar 8a dan 8b).
Ameloblastoma dapat membesar, merupakan massa jaringan fibrous yang padat dan
mendesak gigi geligi di sekitarnya sehingga lengkung rahang berubah. Mengingat
sifat neoplasma tersebut yang secara klinis ganas pada daerah yang terbatas,
diperlukan perawatan radikal berupa reseksi rahang (blok/parsial/total),
sekaligus odontektomi gigi bungsu yang impaksi totalis tersebut.
Gambar 8. Gambaran klinis ekstra-oral ameloblastoma
mandibula sinistra, tampak pembengkakan di daerah mandibula kiri (8a). Gambaran
klinis intraoralnya, lengkung rahang berubah dari bentuk U menjadi V (8b).
(Sumber : Rahayu Departemen Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut FKUKI, 2014)
Perubahan degenerasi
kistik menjadi kista dentigerous dan ameloblastoma tidak menimbulkan komplikasi
yang mengancam jiwa karena pertumbuhannya yang lambat,. Pada gigi impaksi parsialis yang mengalami karies
profunda dan menjadi gangren pulpa, dapat pula terbentuk kista pada ujung akar
gigi yaitu kista radikularatau disebut pula kista periodontal (Gambar 7c).
Berdasarkan penjelasan
diatas, maka komplikasi gigi bungsu impaksi paling sering terjadi pada impaksi
parsialis dibandingkan impaksi totalis. Pasien biasanya mencari pengobatan
apabila telah timbul gejala yang berat akibat infeksi akut atau benjolan
kista/tumor yang menyebabkan perubahan bentuk (asimetri) wajah (Rahayu, 2014).
Comments