Seorang pasien perempuan
berusia tahun datang ke RSGMP dengan keluhan ingin membuat gigi tiruan penuh pada rahang atas dan bawah.
Dari pemeriksaan subjektif didapatkan bahwa pasien tidak memiliki kelainan penyakit
sistemik dan alergi obat. Pada hari pertama datang, pasien dirujuk ke bagian prosthodonti untuk memeriksakan apakah pembuatan gigi tiruan bisa dilakukan atau
tidak. Pada pemeriksaan intraoral terlihat adanya penonjolan pada tulang tepatnya di ridge alveolar pada regio gigi 43. Sewaktu di palpasi didapat adanya rasa sakit, runcing dantajam. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien mempunyai
eksostosis pada ridge alveolar pada regio gigi 44, yang dapat mengganggu pada pembuatan gigi tiruan.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seseorang akan menggunakan gigi
geligi permanen seumur hidupnya. Namun, gigi dapat hilang karena berbagai
faktor penyakit gigi yaitu karies dan penyakit periodontal, atau proses penuaan
secara alami. Adapun beberapa faktor bukan dari penyakit gigi, seperti sikap,
perilaku, kunjungan ke dokter gigi, dan ciri-ciri sistem pelayanan kesehatan,
memegang peranan penting dalam proses kehilangan gigi.Laporan ini bertujuan untuk mengetahui persiapan jaringan periodontal sebelum
pembuatan gigi tiruan sebagian maupun gigi tiruan penuh.Sehingga perlu
dipersiapkan baik jaringan periodontal sebelum dilakukan pembuatan gigi tiruan
untuk menunjang stabilisasi, retensi, kenyamanan dan estetika. Usaha yang dapat
dilakukan untuk mempersiapkan jaringan periodontal untuk perawatan gigi tiruan
sebagian dan gigi tiruan penuh adalah Alveoplasti, Alveolar augmentasi,
Frenektomi, Vestibuloplasti, Gingivektomi, Eksostosis, Ortodontik, Splinting.(Fitri dan Arsmin, 2014).
Alveolektomi
menurut Archer didefenisikan sebagai suatu tindakan bedah
untuk membuang prosesus alveolaris, baik sebagian atau seluruh dikenal
sebagai tindakan untuk mengurangi tulang alveolar dengan porsi yang tepat
sehingga dapat diperoleh akses untuk mempersiapkan linggir alveolar pada
pembuatan suatu protesa. Eksostosis
merupakan tonjolan tulang pada prosesus alveolaris yang berbentuk membulat,
serta tajam bila diraba, terasa sakit dan tidak dapat digerakkan. Penyebab eksostosis tersebut dikarenakan adanya proses resorbsi tulang pada usia lanjut yang
terjadi secara fisologis dan tidak teratur. Sehingga didapatkan sisa tulang
resorbsi yang tajam dan mungkin ada yang
tumpul (Aditya, 1999).
Secara anatomis, bentuk deformitas, seperti bentuk tulang
yang tajam, alveolar
yang menonjol dan linggir yang tidak teratur harus dihilangkan untuk memperoleh
suatu basis tulang yang baik pada pembuatan protesa. Eksostosis dapat mengganggu
retensi, stabilitas dan kenyamanan pada pasien yang menggunakan gigi tiruan.
Agartidakmengganggu retensi, stabilitasdan kenyamanan pasien pengguna gigi
tiruan maka perlu dilakukan pengambilan pada eksostosis tersebut.Pembedahan
yang digunakan untuk mengambil eksostosis yaitu dengan alveolektomi (Soelarko
dkk,1980).
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dilakukan tindakan alveolektomi sebagai suatu bedah
preprostetik, yang
bertujuan untuk
memperbaiki keadaan tulang alveolar rahang untuk penempatan gigi tiruan, sehingga
didapatkan retensi dan stabilisasi gigi tiruan.
2.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
prinsip bedah dalam kedokteran gigi?
2.
Apakah itu Alveolektomi ?
3.
Bagaimanakan prinsip pembuatan flap?
4.
Bagaimanakah kasus pasien alveolektomi?
5. Apakah
komplikasi yang terjadi setelah tindakan alveolektomi?
2.3 Tujuan
Secara
umum tujuannya adalah untuk mengetahui tindakan alveolektomi yang merupakan
salah satu tindakan bedah prosthetik. Secara khusus tujuan pembuatan makalah
ini, untuk melengkapi salah satu tugas modul 7, dan penulis mampu melakukan
tindakan tersebut.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Prinsip
Bedah
Tindakan
bedah mulut merupakan tindakan yang beresiko baik terhadap pasien ataupun
terhadap operator beserta staff. Resiko yang sering terjadi adalah kontaminasi
mikroorganisme baik bakteri atau virus. Selain itu, juga terdapat komplikasi
selama pembedahan dari komplikasi ringan sampai kematian pasien.
suatu
tindakan yang dilakukan dengan hati-hati dan asepsis, harus
mempunyai pengetahuandasar, terutama mengenai anatomi, fisiologi, patologi,
farmakologi dan sebagainya. Prinsip untuk dapat melakukan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya, harus mencakupi:
1.
Diagnosa yang tepat
Tanpa mengetahui diagnosa yang tepat, kita tidak
akan dapat mengadakan terapi yang baik, walaupun ada berbagai macam cara
pengobatan tetapi diagnosa yang tepat hanya satu (Tjiptono dkk,
1998).
2.
Rencana perawatan
Setiap rencana perawatan disusun dengan sedemikian
rupa sehingga meliputi keadaan lokal, kesehatan umum dan sosial ekonomi dari
pasien. Rencana perawatan tidak terlepas dari pada perawatan pasca bedah. Dari
anamnesa perawatan ini akan keluar empat macam hasil yang akan dilakukan yaitu:
a. Observasi
(diamati selanjutnya).
b. Perawatan
konserfatif (dirawat secara konserfatif dengan pengobatan saja).
c. Pembedahan
(diambil tindakan operasi).
d. Konsultasi
(dikirim ke sejawat yang lebih ahli untuk ditindak lebih lanjut) (Tjiptono dkk,
1998).
3.
Perawatan secara pembedahan
Pada tindakan operasi
harus diikuti syarat-syarat sebagai berikut :
a. Asepsis
b. Atraumatic-surgery
c. Memenuhi
tata kerja yang teratur (Tjiptono dkk, 1998).
4.
Perawatan pasca bedah
Perwatan pasca bedah atau perawatan sesudah operasi yang
baik akan mencegah terjadinya komplikasi sesudah operasi (Tjiptono dkk,
1998).
2.2.2 Alveolektomi
Alveolektomi adalah pengambilan tulang pada prosessus alveolaris yang membesar atau prosessus
alveolaris yang tajam.
Menurut Rendi, dkk (2002) menyebutkan bahwa alveolektomi adalah suatu tindakan pengurangan
tulang soket dengan cara mengurangi plat labial atau bukaldari prosessus alveolar dengan
pengambilan septum interdental dan interadikuleruntuk mereduksi atau mengambil
procesus alveolus disertai denganpengambilan septum interdental dan interradikuler sehingga bisa dilaksanakanaposisimukosa. Alveolektomi termasuk bagian dari bedah
preprostetikyaitu tindakan bedah yang dilakukanuntuk persiapan pemasangan gigi tiruan (Tjiptono dkk, 1998; Sandira, 2009).
Indikasi
dan Kontraindikasi Alveolektomi :
Indikasi
1. Pembesaran tulang yang abnormal dan
menonjol.
2. Jaringan hipertopi
3. Kondisi-kondisi patologi
Kontraindikasi
1. Tulang kortikal
yang tipis
2. Pasien dengan
penyakit sistemik
3. Periostitis
4. Periodontitis, merupakan penyakit
periodontal yang parah, yang mengakibatkan kehilangan tulang (Tjiptono dkk,
1998;Fragiskos, 2007).
Syarat -
syarat yang harus dipenuhi pada tindakan alveolektomi ialah:
1.
Pengambilan tulang tidak boleh terlalu
banyak dan sedapat mungkin mempertahankan tulang kortikal, sebab bila tulang
kortikal terlalu banyak diambil dapat mempercepat terjadinya resorbsi tulang
alveolar tersebut.
2.
Bagian tulang pendukung gigi tiruan
cukup banyak yang tinggal.
3.
Kondisi pasien baik (Tjiptono dkk,
1998).
2.2.3
Prinsip
Pembuatan Flap
Kesalahan yang umum
terjadi adalah tidak memadainya jalan masuk karena kurang besarnya flap. Oleh
karena itu prinsip-prinsip mendesain flap adalah penting dan perlu diperhatikan
dengan baik. Dengan
jalan masuk yang adekuat, pemisahan atau pemotongan terkontrol dari gigi
merupakan rute yang pasti untuk mendapatkan arah tanpa halangan dengan
mengorbankan tulang sedikit mungkin. Keterampilan dalam melakukan pembedahan
gigi dicapai melalui pengalaman klinik yang lama. Beberapa pengalaman terbaik
diperoleh dengan melalui kemampuan memecahkan masalah dengan melalui kemampuan
memecahkan masalahmelalui pemikiran dan perencanaaan yang hati-hati (Pedersen,
1996).
Bentuk dari flap sangat
mempengaruhi dalam keberhasilan pembedahan, dimana ada 3 macam bentuk flap yang
dapat dibuat dan dibuat tergantung dari daerah operasi dan besar lesi yang akan
diambil. yaitu;
a.
Semiluner
b.
Trapezium
c.
Segitiga ( Tjiptonodkk, 1998)
Gambar 1. Macam-macam bentuk flap
Ketiga
bentuk ini dibuat tergantung dari pada daerah operasi dan besar bagian yang
akan diambil. Apabila tepi gingiva dari pada gigi termasuk dalam daerah flap,
maka harus diinsisi dan tidak boleh diangkat begitu saja. Untuk melepaskan flap
harus dengan gerakan yang halus.Pekerjaan yang tidak rapi akan menimbulkan
trauma dan akan menyebabkan penyembuhan
yang lama dan tidak sempurna, dengan cara bekerja yang atraumatik akan dapat
mempertahankan aliran darah dari flap, sehingga flap tetap hidup dan baik terhindar
dari terjadinya nekrose.
Hal-hal yang
perlu diketahui dalam pembuatan flap:
1. Penyembuhan dari flap tidak tergantung dari besarnya
tetapi tergantung dari pada bagaimana membuatnya dan bagaimana kita bekerja.
2.
Pada
waktu melakukan insisi serta pada waktu pembukaan flap, harus diperhatikan
jangan sampai merusak nervus, oleh karena dapat menyebabkan terjadinya rasa
kebas, biru serta paralise.
3. Insisi pada jaringan luak, misalnya mukosa pipi, lidah,
palatum mole, atau Dasar mulut tidak boleh tegak lurus dan dalam (Tjiptono dkk,
1998).
Syarat dalam pembuatan desain flap adalah;
a.
Lebar
flap dibandingkan tepi bebasnya ( insisi
tambahan harus serong).
b.
Mempertahankan suplai darah ( insisi
sejajar dengan pembuluh darah untuk memberikan vaskularisasi).
c.
Hindari retraksi flap yang terlalu lama
d.
Hindari ketegangan dalam
penjahitan, jahitan yang berlebih atau
keduanya
e.
Persyarafan : Desain diusahakan
menghindari saraf yang terletak didalam terutama nervus mentalis ).
f.
Pendukung
Tempatkan
tepi sedemikian rupa sehingga terletak di atas tulang ( lebih kurang 3-4 mm
dari tepi tulang yang rusak ).
g.
Ukururan : ukuran flap seharusnya lebih
besar dan jangan terlalu kecil serta diperluas terlalu berlebihan
h.
Ketebalan : untuk flap periostal,
periostum diambil secara menyeluruh jangan jangan sampai terkoyak dan pada
waktu mengangkat flap jangan sampai tersobek ( Pedersen, 1996 ).
2.2.4
Laporan
Kasus
Seorang pasien perempuan
berusia tahun datang ke RSGMP Baiturrahmah dengan keluhan ingin membuat gigi tiruan penuh pada rahang atas dan bawah.
Dari pemeriksaan subjektif didapatkan bahwa pasien tidak memiliki kelainan penyakit
sistemik dan alergi obat. Pada hari pertama datang, pasien dirujuk ke bagian prosthodonti untuk memeriksakan apakah pembuatan gigi tiruan bisa dilakukan atau
tidak. Pada pemeriksaan intraoral terlihat adanya penonjolan pada tulang tepatnya di ridge alveolar pada regio gigi 43. Sewaktu di palpasi didapat adanya rasa sakit, runcing dantajam. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien mempunyai
eksostosis pada ridge alveolar pada regio gigi 44, yang dapat mengganggu pada pembuatan gigi tiruan.
Data pasien
Nama :
Jenis
kelamin : laki-
laki
Umur : 59 tahun
No
RM :
Alamat :
Gambar 3. Gambaran Intraoral
Prosedur Pembedahan :
1.
Alat dan bahan yang telah disterilkan
Alat
:
a. Alat standar
b. Handle blade
c. Raspatorium
d. Bone file
e. Blade no 15
f. Gunting bedah
g. Benang + jarum jahit
h. Needle holder
i.
Low
speed ( mikromotor )
j.
Bur
tulang
k. Knabel tang
Bahan
:
a. Pehacaine
b. Povidon
iodine
c. Tampon,
kasa, kapas
d. Alkohol
2. Dudukan pasien didental unit, operator menjelaskan
kepada pasien tentang prosedur perawatan secara singkat serta membimbing pasien
dalam mengisi inform consent.
3. Asepsis terhadap operator
dan pasien
-
Operator :
Mencuci tangan, membuka perhiasan dan aksesoris
tangan yang dipakai, memakai masker dan handscoon.
-
Pasien : Asepsis intra oral dan ekstra oral, pada ekstraoral dengan menggunakan alkohol diolesi melingkari bibir
dengan searah jarum jam, dan dengan menggunakan larutan antiseptik ( povidon iodine)
pada daerah kerja.
4. Lakukan anastesi infiltrasi, kemudian lakukan
pengecekan dengan menggunakan ujung sonde apakah anastesi sudah berjalan atau
belum.
5. Lakukan bleeding point pada daerah yang akan
dilakukan insisi dengan bentuk flap trapesium
6. Buka perlekatan flap dengan menggunakan raspatorium dan dilakukan identifikasi penonjolan tulang
yang runcing yang akan diambil
7. Buang penonjolan tulang
alveolus
yang runcing tersebut dengan bur atau dengan knabel tang.
8. Raba bagian tulang yang masih tajam dan dihaluskan
dengan dengan menggunakan bone file, setelah dihaluskan lakukan irigasi dengan
larutan NaOcl 0,9 %
9. Kembalikan flap seperti semula kemudian suturing
dengan interrupted suture
10. Instruksi pasca bedah dan medikasi kemudian pasein
dipulangkan dan diberi obat
11. Setelah 1 minggu apabila tidak ada tanda-tanda inflamasi, jahitan dibuka ( Tjiptono, dkk).
2.3
Komplikasi
Setelah dilakukan tindakan prosedur bedah biasanya akan muncul keluhan.
Hal ini wajar, salah satu keluhan yang mungkin terjadi adalah rasa ketidaknyamanan.
Rasa ini dapat terjadi sebagai akibat adanya rasa sakit yang dialami pasien.Untuk menghilangkan rasa ketidaknyaman ini dapat
diberikan obat penghilang rasa sakit.
Komplikasi pasca bedah dan pencabutan gigi
kadang-kadang tidak dapat dihindari, dapat terjadi oleh beberapa sebab tanpa
memandang operator, keterampilan operator maupun
kesempurnaan persiapan. Komplikasi yang terjadi bervariasi demikian juga akibat
yang ditimbulkan (Ismardianita, 2013 ).
Ada beberapa komplikasi
yang dapat terjadi, yaitu sebagai berikuit;
a. Laserasi mukosa ( sobekan pada mukosa)
Laserasi gingiva terjadi karena ginggiva terjepit pada saat
pencabutan, mukosa sudut mulut luka karena terlalu lebar membuka mulut.
Penanganan : operator harus bekerja secara baik dan benar
serta memperhatikan hal-hal yang yang dapat menyebabkan komplikasi tersebut.
b. Lesi pada nervus
Nervus dapat terluka pada anastesi lokal karena
memakai jarum yang tumpul dan bisa juga terjadi bila waktu penyuntikkan ada sisa alkohol yang masuk
kejaringan dan sampai ke nervus sehingga dapat menyebabkan terjadi nekrose dan
parastesi
Penanganan;anastesi
lokal harus memakai jarum yanag tajam serta operator memperhatikan alat dan
daerah tempat dilakukan injeksi
c.
Pendarahan
Biasa
terjadi karena waktu tindakan pembedahan dilakukan banyaknya/ besarnya pembuluh
darah yang terkena.
Penanganan;
-
Secara tekanan
Dengan menggunakan kain kasa atau
tampon
-
Secara biologis
Bila pemakaian tampon padat atau
kasa tidak bisa
menghentikan pendarahan maka dapat dipakai
obat-obatan seperti adrenalin
-
Pengikatan atau penjahitan
Bila pendarahan disebabkan karena
terputusnya
pembuluh darah yang besar, maka pembuluh darah tersebut diikat dengan
menggunakan cat gut atau benang absorbel dan bila pendarahan disebabkan karena
terbukanya jahitan operasi maka kita melakukan penjahitan kembali.
-
Hemostat
Digunakan untuk menjepit pembuluh
darah
d.
Edema
Edema
merupakan kelanjutan normal dari setiap pencabutan atau pembedahan gigi, serta
merupakan reaksi normal dari jaringan terhadap cidera. Edema adalah reaksi
individual yaitu trauma yang besarnya sama, tidak terlalu mengakibatkan derajat
pembengkakan yang sama baik pada pasein yang sama atau berbagai pasien. Usaha-usaha
yang bisa mengontrol udema adalah termal (dingin), fisik (pemekanan), dan
obat-obatan. Obat yang sering digunakan adalah jenis steroid yang dibarikan
secara prenatal, oral atau tropical sebagai pembalut tulang alveolar.
e.
Alveolitis ( dry socket )
Komplikasi yang paling sering, paling menakutkan dan
paling sakit sesudah pencabutan adalah dry socket atau alveolitis. Biasanya di
mulai dari hari ke 3 sampai ke 5. Keluhan utama yang dirasakan adalah rasa
sakit yang sangat hebat sesudah operasai. Pemeriksaan terlihat tulang
alveolaris yang terbuka, terselimuti kotoran dan dikelilingi berbagai tingkatan
peradangan dari ginggiva. Akibat terjadinya dry socket adalah hilangnya bekuan
akibat lisis, mengelupas atau keduanya. Dry socket ini bisa juga terjadi akibat
adanya streptococcus, tetapi lisis mungkin bisa terjadi tanpa keterlibatan
bakteri. Diduga trauma berperan karena mengurangi vaskularisasi yaitu pada
tulang yang mengalami mineralisasi yang tingi pada pasien usia lanjut.
Penatalaksanaan : untuk perawatan persyarafan
tindakan yang tenang, hati-hati dan halus. Bagian yang mengalami dry socket
diberi diirigasi dengan larutan saline yang hangat, dan diperiksa. Palpasi
dengan menggunakan aplikator kapas dapat membantu dalam menentukan sensitivitas
( Pederson, 1996 ).
f.
Infeksi
Didasarkan atas potensi penyebaran dari infeksi bakterium
atau keduanya. Pencabutan dan pembedahan yang mengalami infeksi akut yaitu
perikoronitis atau abses. Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan obat
antibiotik seperti penisilin
( Pedersen, 1996 ).
Ada beberapa tindakan
postoperatif yang harus dilakukan
1.
Istirahat yang
cukup.Istirahat yang cukup dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
2.
Untuk sementara
pasien dianjurkan untuk tidak memakan - makanan yang keras dan merangsang
3.
Pasien harus
memakan - makanan yang lunak dan lembut terutama pada hari
pertama pasca pembedahan. Pasien tidak boleh memakan -makanan yang panas karena dapat terjadinya
pendarahan. Pasien baru boleh makan beberapa jam setelah pembedahan agar tidak
mengganggu dan jangan mengunyah pada sisi yang dilakukan pembedahan.
4.
Banyak meminum
air putih agar terhindar dari dehidrasi
5.
Pasien harus
selalu menjaga kebersihan mulut, gigi disikat secara rutin dan diiringi dengan
penggunaan obat kumur.
6.
Untuk mengurangi
rasa sakit pasien diberi obat analgetik
7.
Untuk
mempercepat masa penyembuhan pasein diberikan vit c
8.
Pasein tidak
boleh merokok, karena dapat meningkatkan insiden terjadinya pendarahan dan dry
socket (Ismardianita, 2013)
2.4 Saran
Demikian
laporan kasus ini dibuat, diharapkan laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca dan banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang pembedahan dalam melakukan tindakan
alveolektomi.
Yuk baca juga artikel terkait
KONSULTASIKAN
SEGERA JIKA KAMU MENGALAMI MASALAH INI HANYA KEPADA DOKTER GIGI AGAR
KAMU MENDAPATKAN TERAPI YANG TEPAT DAN TERBAIK UNTUK MENGEMBALIKAN
KEPERCAYAAN DIRIMU
Yuk baca juga artikel terkait
ULKUS TRAUMATIKUS DAN SAR MINOR
TUSUK GIGI MEMBUAT KETERGANTUNGAN DAN SEBABKAN KERUSAKAN GIGI
Cara menghilangkan jerawat secara alami
13 PENYEBAB BAU MULUT (HALITOSIS)
ANDA HARUS TAU ...!!! CARA MENGATASI SAKIT GIGI DAN GIGI BERLUBANG
Simak INFO KESEHATAN GIGI lainnya ? klik disini
KONSULTASIKAN GRATIS @GIE_DENTALCARE ? klik disini
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Fitri, I dan
Arsmin. 2014. Persiapan Jaringan
Periodontal Untuk Perawatan Gigi Tiruan Sebagian Dan Gigi Tiruan Penuh. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10063. 12-06-2014
2.
Aditya, G., 1999, Alveoloplasty Sebagai Tindakan Bedah
Preprostetik, Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti.
3.
Ghosh,
2006., Preprosthetic Oral and
maxillofacial Surgery in Donoff B,. Manual of Oral and Maxillofacial Surgery.
St. Louis Mosby
4.
Ismardianita,
E. eksodonsia, Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Baiturrahmah, Padang. 2013.
5.
Pederson,
G. W, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (Oral
Surgery ), Jakarta; EGC, 1996 Hal 47-59
6.
Ragiskos
D. Fragiskos. 2007. Oral Surgery. Veldag Berlin Heidelberg : Springer
7.
Sandira, 2009. Alveolektomi. Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti.
8.
Soelarko, R.M. dan Wachijati, H.,
1980, Diktat Prostodonsia Full Denture, FKG
Unpad, Bandung
9.
Starshak
,T.J. Prosthetic Oral surgery ,St.Louis:Mosby, 1971.
10. Thoma, K. H.
Oral Surgery. Ed. 5th ed.Vol. I. St. Louis: Mosby, 1969: 409-416.
11. Tjiptono k Toeti
R, dkk , Ilmu Bedah Mulut Edisi ke Dua. Penerbit
Cahaya Sukma Nelti, R. Indikasi pencabutan. Hal 206-208.
12. Wray,Guernsey,
L. H. Preprosthetic Surgery. In:Kruger, G. O., editor. Textbook of Oraland
Maxillofacial Surgery. 5th ed. St.Louis: Mosby, 1979: 111. al, 2003.
Comments